Jumat, 16 Juli 2010

Menggantungkan Hidup Dari Memulung


Sampah bagi sebagian besar masyarakat di perkotaan mungkin menjadi masalah yang sering dianggap menimbulkan malapetaka. Namun, bagi para pemulung sampah adalah nafas bagi kehidupan mereka. Pasalnya, sampah yang identik dengan tempat-tempat kotor ini merupakan mata pencarian bagi orang yang berprofesi memulung.

Tanpa disadari pemulung adalah penyelamat bagi lingkungan. Mungkin banyak orang mengira masalah sampah akan selesai setelah setiap harinya diambil para pekerja dari DPU (Dinas Pekerjaan Umum) dan dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Namun, jika tidak ada pemulung, sampah yang terkumpul akan terus menggunung, karena sampah tersebut khususnya yang berbahan dari plastik baru dapat terurai sekitar 300 tahun. Jika dibayangkan, bagaimana kondisi yang terjadi selama 300 tahun jika sampah terus bertambah.

Supiyem (65) warga Wukirsari Baleharjo merupakan satu dari puluhan pemulung yang setiap harinya memunguti plastik, kertas bekas dan beling (pecahan gelas) di TPA Wukirsari Baleharjo. Meski untuk mendapatkan jenis sampah yang dicari harus memilih-milih dari gundukan sampah yang menggunung dan banyak dikerumuni lalat sementara hasil yang di dapatkan dari memulung berkisar Rp 50 ribu tiap minggunya, Supiyem tetap merasa bersyukur, karena pekerjaan inilah yang dapat ia kerjaan.

“Mau kerja apa lagi, sawah saya juga tidak punya.” Ujar Supiyem.

Plastik dan kertas yang sudah terkumpul dimasukkan dalam karung dan dijual kepada pengepul untuk dijual kembali ke daerah Jogja dan Solo. Menurut Supiyem setiap Kg-nya plastik dihargai Rp 400 rupiah, Rp 200 rupiah untuk kertas dan Rp 200 untuk beling.

Pekerjaan yang digeluti Supiyem juga diikuti Sulastri (40) anak perempuan satu-satunya. Sejak ditinggal cerai suaminya 8 tahun silam, Sulastri memilih balik ke kampung dan mengikuti jejak ibunya, memulung sampah. (gng)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.