Selasa, 20 April 2010

Upacara Tradisi Bersih Kali

GUNUNGKIDUL – Upacara bersih kali bagi masyarakat dusun Gunungbang Bejiharjo Karangmojo merupakan upacara tradisi yang digelar pada setiap tahunnya pasca panen. Tujuan pelaksanaan upacara tradisi bersih kali ini yakni sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan yang maha kuasa berupa hasil pangan yang melimpah dan juga kesehatan. Selain itu upacara tradisi ini bertujuan sebagai sarana untuk mewujudkan nadzar (janji:red) warga yang telah dikabulkan permintaannya.

Upacara tradisi bersih kali ini digelar di daerah sekitar belik (sumber mata air:red) daerah Gunungbang Bejiharjo Karangmojo yang diyakini dulu tempat Sunan Kalijogo pernah singgah dan menancapkan tongkatnya sehingga memunculkan sumber mata air yang tak pernah berhenti mengalir meski di musim kemarau. Di dalam belik terdapat batu yang diyakini merupakan penyumbat mata air yang konon tidak boleh dipindah karena jika dipindah akan menimbulkan bencana. Oleh sebagian besar masyarakatnya daerah sekitar belik dipercaya disinggahi Kyai Mbah Sejati, Kyai Onggowoso, Kyai Gading mlati, Kyai Janur Windo, Kyai Sabuk Alu dan Kyai Jalu Wesi.

Bagi sebagian warga yang mempercayainya, air yang bersumber dari belik diyakini mendatangkan berkah, selain untuk penyembuhan air belik juga dipercaya membuat orang awet muda jika digunakan untuk membasuh muka. Puji (30) warga sekitar salah seorang yang mengambil air belik mengaku mengambil air belik untuk dipergunakan sebagai sarana pengobatan orang sakit.

“Saya mengambil air untuk sanana penyembuhan.” Katanya.

Upacara tradisi bersih kali ini dihadiri banyak warga, baik itu warga dari daerah setempat maupun warga dari daerah lain. Ada pantangan-pantangan yang harus ditaati bagi setiap pengunjung upacara tradisi bersih kali. Menurut YS. Sandiyo selaku pemangku adat, pengunjung yang datang dilarang menggunakan sabuk berwarna hijau, iket bangun tolak, dilarang membawa tunggangan jaran pancal panggung.

Dalam pelaksanaannya upacara tradisi Bersih kali, setiap kepala keluarga membuat encek (tumpeng:red) yang berisi Krowotan (kimpul, gembili, singkong yang direbus:red), Jadah, Cengkaruk, Pulo, Kupat, lepet dan nasi ingkung. Dengan diiringi kesenian jatilan encek dari warga dibawa ke daerah belik lalu diserahkan kepada pemangku adat. Dipimpin kaum adat, Suryodiyanto (55) encek dari warga dikendurikan. Selesai dikendurikan encek dibagi-bagikan kepada para pengunjung. Upacara bersih kali diakhiri dengan pegelaran kesenian tayup.

“Kesenian tayup ini harus diadakan karena meripakan hiburan yang disukai yang mbau rekso (penguasa:red) wilayah sini.” Ujar YS Sandiyo.

Menurut YS Sandiyo, konon pada tahun 1948 saat melaksanakan upacara tradisi bersih kali tidak warga tidak menggelar kesenian tayup. Saat itu juga banyak warga yang sakit dan turun hujan deras disertai angin kencang. Semenjak itu saat diadakan upacara tradisi bersih kali selalu diadakan kesenian tayup.

Bagi sebagian masyarakat yang mempercayai, sebelum menonton kesenian tayup, pengunjung yang membawa anak kecil langsung meminta seorang ledek (penari tayup:red) untuk mencium anaknya atau mengusapkan selendang ke wajah si anak agar tidak terkena sawan.

Perempuan Perkasa Penambang Pasir


GUNUNGKIDUL – Sebagian kaum Perempuan di daerah dusun Sidorejo Karangtengah Wonosari setiap harinya bekerja mengais rejeki dengan cara menambang pasir. Sekitar 35 perempuan dari dusun ini memanfaatkan pasir dari kali oya yang membelah kampung mereka untuk memenuhi nafkah keluarga.
Bariyem (60) salah seorang penambang pasir mengaku sudah 30 tahun menggeluti pekerjaan ini. Bermodal tekad dan sedikit kemampuan berenang dirinya bersama puluhan perempuan lainnya bergelut melawan derasnya arus kali oyo. Menurut Bariyem pekerjaan ini terpaksa dilakoninya untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi.
Sementara itu para suami penambang pasir ini setiap harinya sebagian bekerja sebagai pedagang kaki lima sebagian lagi bekerja sebagai petani.
“Meski berat, namun hanya pekerjaan inilah yang dapat kami lakukan untuk membantu suami dalam mencari nafkah.” Katanya
Untuk mendapatkan pasir, perempuan-perempuan penambang pasir ini masuk ke dalam kali dan menyelam. Pasir yang terdapat di dasar kali mereka keruk dan dikumpulkan dengan menggunakan keranjang dari bambu. Pasir yang terkumpul digendong dan dibawa ke daratan.
Bersama puluhan perempuan lainnya, Bariyem dalam setiap harinya mampu mengumpulkan sekitar 3 rit pasir. Pasir yang terkumpul diambil oleh para tengkulak. Setiap 1 rit pasir dihargai sekitar Rp. 90 ribu. Hasil penjualan tersebut dibagi rata semua penambang.
Meski pekerjaaan yang dilakoni tergolong berat, penghasilan yang di dapatkan penambang pasir ini tergolong minim. Wastini (48) salah seorang penambang lain mengaku dari hasil mencari pasir setiap harinya dirinya mendapatkan Rp 10 – Rp 12 ribu.
“Pekerjaan ini akan tetap kami lakukan meskipun hasil yang kami dapat setiap harinya sedikit.” Ujar Wastini
Tanpa mengenal lelah, sepulang dari menambang pasir, perempuan-perempuan penambang pasir dari dusun Sidorejo langsung mencari rumput untuk memberi makanan ternak.
Waktu benar-benar dimanfaatkan oleh perempuan-perempuan dari dusun Sidorejo. Sedikit harapan yang tetap menyemangati kerja keras mereka. Mereka berharap dari hasil keras yang dilakoni akan dapat merubah hidup. Mereka sadar tanpa keterampilan yang memadai, untuk bertahan hidup tenaga menjadi andalan pokok. (gng)