Sabtu, 23 Oktober 2010

Wayang Beber

Oleh: Muji Barnugroho

Pementasan seni tradisional wayang Beber sangat jarang ditemui di beberapa pelosok daerah, bahkan di Indonesia. Di Indonesia jenis wayang ini hanya ada di 2 daerah, yakni di Dusun Gelaran II, Bejiarjo, Karangmojo, Gunungkidul dan di daerah Pacitan, Jawa Timur. Wayang Beber merupakan jenis wayang yang menggunakan media beber (layar) yang berbentuk gulungan dari kulit batang pohon mlinjo yang di dalamnya terdapat gambar adegan lakon yang diceritakan seorang dalang. Berbeda dengan jenis wayang lain yang biasa dipentaskan dalam jumlah puluhan, wayang Beber terdiri dari 4 gulungan dimana masing-masing gulungan terdiri dari 4 adegan. Isi cerita wayang Beber sendiri  mengambil lakon kisah Panji Asmoro Bangun dengan Dewi Sekartaji.
Pementasan wayang beber ini pun jauh berbeda dengan pementasan wayang kulit pada umumnya yang harus dipentaskan semalam suntuk. Wayang beber pementasannya hanya membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Selain itu, pemain dalam pementasan wayang Beber hanya membutuhkan sekitar 10 orang, 1 orang sebagai dalang, 2 orang bertugas memegangi beber, dan lainnya bertugas memainkan alat musik gamelan.
Pertunjukan Wayang Beber yang semakin langka
Di Gunungkidul, belum lama ini tepatnya hari Sabtu wage (23/10) pentas wayang Beber ini diadakan di Desa Bejiharjo, Karangmojo dengan dalang Ki Karmanto Hadi Kusumo. Meski jalan ceritanya cukup singkat, namun karena pertunjukan wayang Beber ini sangat jarang ditemui, dalam pertunjukan yang digelar di balai Desa tersebut mampu menyedot perhatian ribuan penonton, bahkan turis dari manca Negara.
Menurut Ki Karmanto Hadi Kusumo wayang Beber yang dipentaskan sudah berumur lebih dari 300 tahun, terlihat dari gulungannya yang sudah usang dimakan usia.
Wayang beber kami lestarikan secara turun temurun, dan saya saat ini merupakan generasi ke 10 yang menjaga wayang beber tersebut,” katanya.
Terpisah, Pemilik sanggar pedalangan pengalasan di Desa Wiladeg, Slamet Hariyadi yang juga merupakan guru dari Ki Karmanto Hasi Kusumo menceritakan berdasarkan sejarahnya wayang beber ini berasal dari keraton kartosuro pada tahun 1727 silam. Gejolak perang Pecinan di Kartosuro membuat beberapa orang mengungsi untuk melarikan diri ke daerah Pacitan dan Gunungkidul dengan membawa serta wayang beber.
“wayang ini langka, sehingga harus dilestarikan karena di Indonesia cuma ada di Gunungkidul dan Pacitan,” Ujarnya.
Sebelum pementasan di lakukan, dalang wayang Beber menyiapkan beberapa sesaji. Selain untuk melestarikan budaya yang diturunkan, karena wayang beber sendiri telah dianggap keramat oleh masyarakat yang melestarikan.

Sabtu, 25 September 2010

Ruwatan

Tradisi Buang Sukerto
Anak unting-unting (tunggal perempuan) diruwat
Ruwatan dalam masyarakat Jawa merupakan acara tradisi untuk membuang kesialan orang-orang yang masuk dalam golongan sukerto (susah atau sial). Orang yang termasuk dalam golongan sukerto diantaranya anak ontang-anting atau anak laki-laki tunggal, unting-unting atau anak tunggal perempuan, anak kembar atau kembang sepasang, sendang kapit pancuran atau anak tiga perempuan ditengah, pancuran kapit sendang atau anak tiga laki-laki di tengah, uger-uger lawang atau dua laki-laki semua, pendowo limo atau lima anak laki-laki semua. Menurut cerita anak yang masuk dalam golongan sukerto ini akan dimakan Bethoro Kolo.
Dalam pelaksanaannya, tradisi ruwatan digelar dengan berbagai prosesi spiritual diantaranya pagelaran wayang kulit dengan mengambil lakon Murwokolo, yang menceritakan Bethoro Kolo yang akan memangsa anak Sukerto, dilanjutkan dengan pemotongan rambut untuk dilarung dan penyiraman air suci yang telah dicampur dengan berbagai macam bunga-bungaan oleh seorang dalang diikuti orang tua atau keluarga dari anak yang diruwat.
Dalam perkembangannya tradisi ruwatan ini jarang ditemui. Namun, di Desa Pulutan, Wonosari, Gunungkidul tradisi warisan leluhur ini masih dipegang teguh masyarakatnya. Salah seorang anak unting-unting di Desa ini, Wiwik Kurniawati (18) sebelum melepas masa lajang menjalani acara ruwatan, Selasa (21/9) lalu.
Kerjo Utomo, dalang yang memimpin ruwatan mengatakan anak yang masuk dalam golongan sukerto biasanya diruwat ketika sudah masuk masa remaja atau sebelum melepas masa lajang.
“Tujuannya untuk melepaskan anak dari kesialan,” katanya.
Sebagai pelengkap prosesi, berbagai macam ubo rampe diantaranya nasi tumpeng, buah-buahan, peralatan rumah tangga dan peralatan pertanian disediakan dalam prosesi ini sebagai sesaji. Setelah prosesi ruwatan selesai, sesaji-sesaji ini kemudian diberikan oleh pengunjung, namun, salah satu sesaji yang berupa pecut (cemeti:red) akan selalu disimpan oleh si empunya rumah sebagai jimat tolak bala.
Acara ruwatan diakhiri dengan prosesi pelepasan merpati hitam sebagai simbol pelapasan nasib sial yang membelenggu si anak yang diruwat.

Jumat, 24 September 2010

Jalan Ambles

Akses Lalu Lintas Ditutup
2 Rumah Terancam Tertimbun Longsor

GUNUNGKIDUL – Jalan utama yang menghubungkan  Kecamatan Ponjong dan Kecamatan Semin Gunungkidul tepatnya di Dusun Jatisari, Sawahan, Ponjong ambles sedalam 25 cm dengan panjang sekitar 40 meter dan lebar 2,5 meter. Amblesnya jalan tersebut diduga karena labilitas tanah perbukitan akibat tidak kuat diguyur hujan terus menerus dalam beberapa minggu terakhir.
Akibat amblesnya jalan ini, arus lalu lintas khususnya untuk roda empat ditutup dan dialihkan ke jalan lain, hanya roda dua dan pejalan kaki yang diperbolehkan melintas.  Sementara itu, kondisi tanah yang labil dan terus bergerak dikhawatir terjadi longsor dan menimbun 2 bangunan rumah milik Sodinomo (80) tidak jauh dari lokasi.
Kepala Desa Sawahan, Suyatno mengatakan amblesnya jalan penghubung antar kecamatan ini pertama kali diketahui Kamis (23/9) sekitar pukul 22.00 setelah seharian diguyur hujan terus menerus.
“Saat terjadi longsor, terdengar suara keras tanah yang bergerak,”katanya.
Untuk mengantisipasi terjadinya longsoran pihaknya memerintahkan kepada warganya untuk bekerja bakti memindahkan bebatuan dan mengeruk tanah yang berada di tepi jalan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban tanah yang labil dan terus bergerak.
“Kami juga meminta kepada keluarga Sodinomo untuk memindahkan barang berharga dan untuk sementara mengungsi ke rumah tetangga lain yang lebih aman,”tambahnya.
Terpisah ketua RT setempat,Marno (40) mengatakan warga khawatir jika turun hujan terus menerus jalan yang ambles akan semakin lebar dan panjang. Pihaknya mengharapkan adanya perhatian dari pemerintah daerah terkait amblesnya jalan tersebut.
“Jalan ini merupakan jalan penghubung antar kecamatan, Jika terjadi longsoran dikhawatirkan jalan akan terputus,” katanya.
Sementara itu, di lokasi terpisah, tepatnya di Dusun Kalisuru, Putat, Patuk, pada saat yang hampir bersamaan talud setinggi sepuluh meter yang berada di tepi jalan Jogja-Wonosari longsor akibat diguyur hujan. Akibatnya arus lalu lintas menjadi tersendat akibat banyaknya reruntuhan bebatuan talud yang menutupi jalan.
“Talud ini longsor akibat tanah tidak kuat digerus air,” katanya. (gng)

Selasa, 17 Agustus 2010

Listrik Adalah Mimpi


65 Tahun Merdeka Ratusan warga Belum Merasakan Listrik

Oleh: Muji Barnugroho

Peringatan kemerdekan RI ke-65 mungkin tidak begitu terasa bagi puluhan kepala keluarga di Dusun Suruh, Hargomulyo, Gedangsari Gunungkidul. Tinggal di daerah pegunungan membuat kebutuhan listrik asing bagi mereka. Kondisi ini sangat ironi dengan gembar-gembor pemerataan pembangunan oleh pemerintah.

Ratusan warga yang berada di daerah perbukitan utara ini, puluhan tahun sejak proklamasi kemerdekaan belum pernah merasakan listrik. Kondisi ini berdampak pada daerah mereka yang semakin terpencil dan tertinggal dari proses perkembangan zaman. Apakah karena letak mereka yang berada di wilayah perbukitan menjadi tersingkir dan sering terabaikan dari proses pembangunan?

Dilihat dari kondisi ekonomi masyarakatnya, warga di perbukitan ini memang masih tergolong miskin. Rumah penduduk banyak yang terbuat dari bambu dengan lantai tanah. Untuk kebutuhan makan sehari-harinya warga yang tinggal di daerah ini masih mengkonsumsi nasi thiwul yang berbahan baku singkong yang ditanam tanah tandus pegunungan di sekitar tempat tinggal mereka dengan mengantungkan pengairan dari air hujan.

Salah seorang warga, Karyo Suminto (87) mengaku sejak dirinya lahir belum pernah merasakan nikmatnya kemerdekaan, untuk penerangan rumahnya setiap harinya keluarganya beserta warga lain masih menggunakan lampu sentir (minyak:red). Bahkan untuk mendapatkan minyak tanah dirinya harus merogoh kocek Sembilan bahkan sepuluh ribu untuk mendapatkan 1 liter minyak tanah. Kondisi ini semakin diperparah dengan sulitnya mendapatkan minyak tanah akhir-akhir ini.

“Setiap malam kami mengunakan penerangan dari lampu senthir atau teplok.” Ujar Suminto.

Hal senada dirasakan Sumarno (60) warga lainnya. Dirinya merasakan pembangunan belum berpihak bagi masyarakat kampungnya. Listrik yang menjadi kebutuhan dasar belum menyentuh kampungnya.

“saya Cuma bisa berharap di hari kemerdekaan ini pemerintah membangun jaringan listrik di kampung kami.” katanya berharap.

Kondisi semacam ini juga dirasakan ratusan warga di daerah Gunungkidul bagian selatan. Ratusan warga yang berada di daerah sekitar pantai selatan hingga saat ini masih belum bisa merasakan nikmatnya mendapatkan jaringan listrik di kampung mereka. Anak-anak sekolah harus belajar menggunakan lampu minyak, yang selalu dekat dengan angus di wajah mereka. Harapan menikmati listrik bagi ratusan warga ini hanyalah sekedar mimpi yang masih jauh dari kenyataan.

Jumat, 16 Juli 2010

Menggantungkan Hidup Dari Memulung


Sampah bagi sebagian besar masyarakat di perkotaan mungkin menjadi masalah yang sering dianggap menimbulkan malapetaka. Namun, bagi para pemulung sampah adalah nafas bagi kehidupan mereka. Pasalnya, sampah yang identik dengan tempat-tempat kotor ini merupakan mata pencarian bagi orang yang berprofesi memulung.

Tanpa disadari pemulung adalah penyelamat bagi lingkungan. Mungkin banyak orang mengira masalah sampah akan selesai setelah setiap harinya diambil para pekerja dari DPU (Dinas Pekerjaan Umum) dan dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Namun, jika tidak ada pemulung, sampah yang terkumpul akan terus menggunung, karena sampah tersebut khususnya yang berbahan dari plastik baru dapat terurai sekitar 300 tahun. Jika dibayangkan, bagaimana kondisi yang terjadi selama 300 tahun jika sampah terus bertambah.

Supiyem (65) warga Wukirsari Baleharjo merupakan satu dari puluhan pemulung yang setiap harinya memunguti plastik, kertas bekas dan beling (pecahan gelas) di TPA Wukirsari Baleharjo. Meski untuk mendapatkan jenis sampah yang dicari harus memilih-milih dari gundukan sampah yang menggunung dan banyak dikerumuni lalat sementara hasil yang di dapatkan dari memulung berkisar Rp 50 ribu tiap minggunya, Supiyem tetap merasa bersyukur, karena pekerjaan inilah yang dapat ia kerjaan.

“Mau kerja apa lagi, sawah saya juga tidak punya.” Ujar Supiyem.

Plastik dan kertas yang sudah terkumpul dimasukkan dalam karung dan dijual kepada pengepul untuk dijual kembali ke daerah Jogja dan Solo. Menurut Supiyem setiap Kg-nya plastik dihargai Rp 400 rupiah, Rp 200 rupiah untuk kertas dan Rp 200 untuk beling.

Pekerjaan yang digeluti Supiyem juga diikuti Sulastri (40) anak perempuan satu-satunya. Sejak ditinggal cerai suaminya 8 tahun silam, Sulastri memilih balik ke kampung dan mengikuti jejak ibunya, memulung sampah. (gng)