Sabtu, 25 September 2010

Ruwatan

Tradisi Buang Sukerto
Anak unting-unting (tunggal perempuan) diruwat
Ruwatan dalam masyarakat Jawa merupakan acara tradisi untuk membuang kesialan orang-orang yang masuk dalam golongan sukerto (susah atau sial). Orang yang termasuk dalam golongan sukerto diantaranya anak ontang-anting atau anak laki-laki tunggal, unting-unting atau anak tunggal perempuan, anak kembar atau kembang sepasang, sendang kapit pancuran atau anak tiga perempuan ditengah, pancuran kapit sendang atau anak tiga laki-laki di tengah, uger-uger lawang atau dua laki-laki semua, pendowo limo atau lima anak laki-laki semua. Menurut cerita anak yang masuk dalam golongan sukerto ini akan dimakan Bethoro Kolo.
Dalam pelaksanaannya, tradisi ruwatan digelar dengan berbagai prosesi spiritual diantaranya pagelaran wayang kulit dengan mengambil lakon Murwokolo, yang menceritakan Bethoro Kolo yang akan memangsa anak Sukerto, dilanjutkan dengan pemotongan rambut untuk dilarung dan penyiraman air suci yang telah dicampur dengan berbagai macam bunga-bungaan oleh seorang dalang diikuti orang tua atau keluarga dari anak yang diruwat.
Dalam perkembangannya tradisi ruwatan ini jarang ditemui. Namun, di Desa Pulutan, Wonosari, Gunungkidul tradisi warisan leluhur ini masih dipegang teguh masyarakatnya. Salah seorang anak unting-unting di Desa ini, Wiwik Kurniawati (18) sebelum melepas masa lajang menjalani acara ruwatan, Selasa (21/9) lalu.
Kerjo Utomo, dalang yang memimpin ruwatan mengatakan anak yang masuk dalam golongan sukerto biasanya diruwat ketika sudah masuk masa remaja atau sebelum melepas masa lajang.
“Tujuannya untuk melepaskan anak dari kesialan,” katanya.
Sebagai pelengkap prosesi, berbagai macam ubo rampe diantaranya nasi tumpeng, buah-buahan, peralatan rumah tangga dan peralatan pertanian disediakan dalam prosesi ini sebagai sesaji. Setelah prosesi ruwatan selesai, sesaji-sesaji ini kemudian diberikan oleh pengunjung, namun, salah satu sesaji yang berupa pecut (cemeti:red) akan selalu disimpan oleh si empunya rumah sebagai jimat tolak bala.
Acara ruwatan diakhiri dengan prosesi pelepasan merpati hitam sebagai simbol pelapasan nasib sial yang membelenggu si anak yang diruwat.