![]() |
Pertunjukan Wayang Beber yang semakin langka |
Setiap inovator adalah pembaharu. Jika benar, ia akan menuntun orang lain menuju kemuliaan. Namun jika salah, idealisme yang ditanamkannya akan menyemangati orang lain untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Motto ini menjadi penyemangat PEMBURU untuk terus menyuguhkan berita yang tajam tanpa mengenyampingkan kesempurnaan berita.
Sabtu, 23 Oktober 2010
Wayang Beber
Sabtu, 25 September 2010
Ruwatan
Anak unting-unting (tunggal perempuan) diruwat |
Jumat, 24 September 2010
Jalan Ambles
Selasa, 17 Agustus 2010
Listrik Adalah Mimpi
Oleh: Muji Barnugroho
Peringatan kemerdekan RI ke-65 mungkin tidak begitu terasa bagi puluhan kepala keluarga di Dusun Suruh, Hargomulyo, Gedangsari Gunungkidul. Tinggal di daerah pegunungan membuat kebutuhan listrik asing bagi mereka. Kondisi ini sangat ironi dengan gembar-gembor pemerataan pembangunan oleh pemerintah.
Ratusan warga yang berada di daerah perbukitan utara ini, puluhan tahun sejak proklamasi kemerdekaan belum pernah merasakan listrik. Kondisi ini berdampak pada daerah mereka yang semakin terpencil dan tertinggal dari proses perkembangan zaman. Apakah karena letak mereka yang berada di wilayah perbukitan menjadi tersingkir dan sering terabaikan dari proses pembangunan?
Dilihat dari kondisi ekonomi masyarakatnya, warga di perbukitan ini memang masih tergolong miskin. Rumah penduduk banyak yang terbuat dari bambu dengan lantai tanah. Untuk kebutuhan makan sehari-harinya warga yang tinggal di daerah ini masih mengkonsumsi nasi thiwul yang berbahan baku singkong yang ditanam tanah tandus pegunungan di sekitar tempat tinggal mereka dengan mengantungkan pengairan dari air hujan.
Salah seorang warga, Karyo Suminto (87) mengaku sejak dirinya lahir belum pernah merasakan nikmatnya kemerdekaan, untuk penerangan rumahnya setiap harinya keluarganya beserta warga lain masih menggunakan lampu sentir (minyak:red). Bahkan untuk mendapatkan minyak tanah dirinya harus merogoh kocek Sembilan bahkan sepuluh ribu untuk mendapatkan 1 liter minyak tanah. Kondisi ini semakin diperparah dengan sulitnya mendapatkan minyak tanah akhir-akhir ini.
“Setiap malam kami mengunakan penerangan dari lampu senthir atau teplok.” Ujar Suminto.
Hal senada dirasakan Sumarno (60) warga lainnya. Dirinya merasakan pembangunan belum berpihak bagi masyarakat kampungnya. Listrik yang menjadi kebutuhan dasar belum menyentuh kampungnya.
“saya Cuma bisa berharap di hari kemerdekaan ini pemerintah membangun jaringan listrik di kampung kami.” katanya berharap.
Kondisi semacam ini juga dirasakan ratusan warga di daerah Gunungkidul bagian selatan. Ratusan warga yang berada di daerah sekitar pantai selatan hingga saat ini masih belum bisa merasakan nikmatnya mendapatkan jaringan listrik di kampung mereka. Anak-anak sekolah harus belajar menggunakan lampu minyak, yang selalu dekat dengan angus di wajah mereka. Harapan menikmati listrik bagi ratusan warga ini hanyalah sekedar mimpi yang masih jauh dari kenyataan.
Jumat, 16 Juli 2010
Menggantungkan Hidup Dari Memulung
Sampah bagi sebagian besar masyarakat di perkotaan mungkin menjadi masalah yang sering dianggap menimbulkan malapetaka. Namun, bagi para pemulung sampah adalah nafas bagi kehidupan mereka. Pasalnya, sampah yang identik dengan tempat-tempat kotor ini merupakan mata pencarian bagi orang yang berprofesi memulung.
Tanpa disadari pemulung adalah penyelamat bagi lingkungan. Mungkin banyak orang mengira masalah sampah akan selesai setelah setiap harinya diambil para pekerja dari DPU (Dinas Pekerjaan Umum) dan dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Namun, jika tidak ada pemulung, sampah yang terkumpul akan terus menggunung, karena sampah tersebut khususnya yang berbahan dari plastik baru dapat terurai sekitar 300 tahun. Jika dibayangkan, bagaimana kondisi yang terjadi selama 300 tahun jika sampah terus bertambah.
Supiyem (65) warga Wukirsari Baleharjo merupakan satu dari puluhan pemulung yang setiap harinya memunguti plastik, kertas bekas dan beling (pecahan gelas) di TPA Wukirsari Baleharjo. Meski untuk mendapatkan jenis sampah yang dicari harus memilih-milih dari gundukan sampah yang menggunung dan banyak dikerumuni lalat sementara hasil yang di dapatkan dari memulung berkisar Rp 50 ribu tiap minggunya, Supiyem tetap merasa bersyukur, karena pekerjaan inilah yang dapat ia kerjaan.
“Mau kerja apa lagi, sawah saya juga tidak punya.” Ujar Supiyem.
Plastik dan kertas yang sudah terkumpul dimasukkan dalam karung dan dijual kepada pengepul untuk dijual kembali ke daerah Jogja dan Solo. Menurut Supiyem setiap Kg-nya plastik dihargai Rp 400 rupiah, Rp 200 rupiah untuk kertas dan Rp 200 untuk beling.
Pekerjaan yang digeluti Supiyem juga diikuti Sulastri (40) anak perempuan satu-satunya. Sejak ditinggal cerai suaminya 8 tahun silam, Sulastri memilih balik ke kampung dan mengikuti jejak ibunya, memulung sampah. (gng)